Rabu, 22 Februari 2012

Mengenal Gejala “Smong” Dari Simeulue


SmongSuatu gejala alam memiliki hubungan kausalitas dengan dengan masalah-masalah lain yang muncul dalam kehidupan manusia sebagai penghuni alam.
Hubungan kausalitas ini memberikan makna tertentu pula bagi manusia. Oleh karena itu, pada umumnya setiap masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang gejala-gejala alam dan seringkali pengetahuan itu berbeda antar masyarakat adat tersebut. Masyarakat Aceh, misalnya, memiliki pengetahuan tentang gejala alam yang khas dan tidak sama dengan masyarakat lain. Sekadar contoh, dalam jagat pengetahuan masyarakat Aceh, bila terlihat pelangi melingkari bulan menandakan musim kemarau akan menjelang. Sebaliknya, bila pelangi melingkari matahari itu berarti musim hujan akan tiba.
Seperti halnya masyarakat Aceh dan masyarakat suku lainnya, masyarakat Simeulue pun memiliki pengetahuan tentang gejala-gejala alam yang khas. Sesuai dengan tema penelitian dan untuk memperkecil ruang lingkup pembahasan, maka pengetahuan masyarakat Simeulue tentang gejala-gejala alam yang diteliti dan diuraikan dalam wacana ini hanya yang berkaitan dengan bencana alam, khususnya tentang tsunami.
Gelombang tsunami yang menerpa daratan Aceh telah menelan korban ratusan ribu jiwa penduduknya plus kehancuran dan kerusakan lingkungan dan bangunan fisik (sarana dan prasarana publik) dalam jumlah tak terbilang. Selain menerjang wilayah Aceh daratan, gelombang tsunami juga melanda wilayah kepulauan, seperti Pulau Simeulu yang terletak di sebelah Barat Daya Provinsi Aceh. Hanya saja gelombang tsunami yang melanda Simeulue tidak menelan korban sebanyak wilayah lainnya di Aceh, baik dari segi kuantitas maupun dari segi porsentase.
Memang, lingkungan dan sarana fisik di Simeulue luluh lantak akibat tsunami, tetapi korban jiwa manusia hanya sejumlah tujuh orang. Kecilnya jumlah korban manusia dalam musibah ini tentu menimbulkan keheranan dan rasa penasaran masyarakat internasional, mengingat musibah tersebut tergolong salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah dunia.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh keterangan bahwa kecilnya jumlah korban manusia dalam musibah besar tsunami di Simeulu tidak terlepas dari kemampuan masyarakat setempat dalam membaca gejala-gejala alam. Pengetahuan ini diperoleh masyarakat berdasarkan peristiwa yang sama yang dialami masyarakat Simeulu pada tahun 1907.
Sebuah Ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909 mengemukakan bahwa di Simeulu sering terjadi gempa bumi yang bersifat ringan. Pada tahun 1907 seluruh daerah pantai barat dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat yang menelan banyak korban. Pada saat itu sejumlah besar kampung benar-benar hilang ditelan ombak besar tersebut. Masyarakat Simeulu kemudian menyebut ombak besar itu dengan nama ‘smong’.
Salah seorang warga Desa Salur, Kecamatan Tepah Barat, Simeulue, Benu Hatar (69 tahun) mengatakan bahwa berdasarkan kisah yang diceritakan oleh ayahnya smong yang melanda Pulau Simeulu hampir seabad yang silam terjadi pada hari Jumat, 14 Januari 1907 pukul 14.00 (setelah salat Jumat). Pada masa itu, ayah Benu Hatar merupakan seorang pedagang (toke) di Sinabang, sehingga dia tahu persis tanggal dan waktu smong datang.
Merujuk kepada cerita-cerita yang diperoleh dari orang tuanya, Abdul Karim (39 tahun), penduduk Desa Amaiteng Mulia, mengisahkan:
Smong tahun 1907 yang pusatnya di Salur, Tepah Barat, itu telah memporak-porandakan kondisi masyarakat dan perumahan penduduk. Apalagi hari itu hari Jumat tanggal 14 Januari, dimana masyarakat sedang melaksanakan salat Jumat dan masyarakat yang lain pun karena hari Jumat banyak yang turun ke ibukota desa (pusat desa, pen.) untuk melaksanakan salat Jumat. Karena itu begitu salat Jumat selesai air surut dimana ikan menggelepar-gelepar di pinggir laut maka masyarakat ramai-ramai menuju pinggir laut memungut ikan. Karena itu tanpa mereka sadari kenaikan air yang begitu tinggi telah menggulung mereka dan membuat kematian yang cukup banyak pada saat itu.
Cerita lain disampaikan oleh Nurisah (107 tahun) dan Iskandar (103 tahun), dua orang kakak beradik yang menjadi saksi hidup peristiwa smong tahun 1907. Menurut pengakuan mereka, pada saat itu masing-masing meraka berusia sembilan dan lima tahun. “Masa itu kami di gunung. Rumah kami di situ. Waktu itu musim padi. Waktu surut air dikecek (dikatakan, pen.) orang itu, orang itu mengambil ikan semua. Kering (laut, pen.) itu,” kenang Iskandar. Sungguhpun Nurisah dan Iskandar melihat langsung akibat yang ditimbulkan smong pada masa itu, namun keduanya mengaku tidak melihat langsung surutnya air laut yang kemudian disusul dengan gelombang pasang yang menerjang daratan. Mereka hanya mendengar cerita itu dari orangtuanya, karena saat itu Nurisah dan Iskandar tinggal di kawasan pegunungan yang jauh dari bibir pantai.
Kisah tentang musibah smong yang melanda Simeulu tahun 1907 dan diceritakan secara turun-temurun oleh generasi yang hidup pada masa itu sampai kepada generasi sekarang, tentu tidak saja mengisahkan tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga gejala-gejala alam yang mendahaluluinya. Dengan demikian, generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong/tsunami.
Menurut Benu Hatar, diantara gejala-gejala alam yang menandakan akan datang smong adalah bilamana terjadi gempa yang disusul dengan surutnya air laut. Tanda yang lain adalah apabila setelah gempa hewan berlarian ke arah dataran yang lebih tinggi, semisal gunung atau perbukitan. Pernyataan Benu Hatar dibenarkan oleh Iskandar dan Nyak Siben (65 tahun).
Pengetahuan tentang gejala-gejala alam yang berkemungkinan menimbulkan smong tidak saja dimiliki generasi tua (sepuh), namun generasi muda pun memiliki pengetahuan tentang itu. Salah seorang tokoh muda Simeulu, Abdul Karim menyatakan: “Ada cerita-cerita lalu bahwa apabila ada gempa yang berkekuatan melebihi dari biasanya maka perlu waspada akan ada kenaikan air atau di Sinabang lebih dikenal dengan smong. Gempa yang perlu kita waspadai yang kekuatannya melebihi dari yang biasa. Jika gempa itu dalam skala kecil semisal 3 atau 4 (SR) kita tidak perlu terlalu risau.”
Karim menambahkan bahwa jika terjadi gempa yang berkekuatan melebihi daripada biasanya, sebagaimana yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 lalu, maka dirinya dan kaum laki-laki di Simeulu segera menuju bibir pantai untuk memantau kondisi air laut. “Selaku kepala keluarga atau lelaki di rumah itu harus tetap waspada dan sekali waktu kita harus memantau kondisi air itu, apakah terjadi penurunan. Jika surut air itu dengan kecepatan tinggi maka dikhawatirkan akan terjadi naik (ke daratan, pen.),” jelas Karim.
Selain smong, menurut Benu Hatar, bencana alam yang pernah melanda Simeulu adalah banjir besar dan angin topan. Akan tetapi, Hatar dan para informan yang lain mengaku tidak memiliki pengetahuan yang spesifik terhadap gejala-gejala menjelang datangnya bencana alam tersebut, sebagaimana pengetahuan mereka terhadap tanda-tanda smong.
Sungguhpun demikian, Nurisah mengaku pernah diceritakan oleh ayahnya mengenai tanda-tanda akan datangnya angin topan atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Simeulu dengan nama ‘Kuncung Baliung’. Nurisah sendiri pada masa kanak-kanak pernah melihat langsung kuncung baliung yang menerpa Simeulu. Menurutnya, berdasarkan cerita dari ayahnya bahwa tanda-tanda akan datangnya kuncung baliung diawali dengan “penampakan” seorang perempuan yang menggeraikan rambutnya.
“Jadi cerita orang tua saya itu kalau turun kuncung baliung yang besar, (ada) perempuan terus digeraikannya rambutnya, nampak gambarnya di situ, udah itu baru ada kuncung baliung. Tapi orang tua saya yang ceritakan itu, saya ndak pernah nampak itu. Jadi masak ngak percaya saya pada orang tua ya ‘kan?!”, kisah Nurisah.
Ditambahkan Nurisah bahwa pada saat kuncung baliung menerpa daerahnya, hampir semua penduduk ketakutan dan mengurung diri di dalam rumah. Mereka tidak saja takut digulung oleh angin topan yang berputar dengan keras, tetapi juga kepada perempuan yang menampakkan diri sebelum datangnya kuncung baliung itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

u
m
l
i
h
a
l
r
a
j
e
k