
Hubungan kausalitas ini memberikan makna tertentu pula
bagi manusia. Oleh karena itu, pada umumnya setiap masyarakat adat memiliki
pengetahuan tentang gejala-gejala alam dan seringkali pengetahuan itu berbeda
antar masyarakat adat tersebut. Masyarakat Aceh, misalnya, memiliki pengetahuan
tentang gejala alam yang khas dan tidak sama dengan masyarakat lain. Sekadar
contoh, dalam jagat pengetahuan masyarakat Aceh, bila terlihat pelangi
melingkari bulan menandakan musim kemarau akan menjelang. Sebaliknya, bila
pelangi melingkari matahari itu berarti musim hujan akan tiba.
Seperti halnya masyarakat Aceh dan masyarakat suku
lainnya, masyarakat Simeulue pun memiliki pengetahuan tentang gejala-gejala
alam yang khas. Sesuai dengan tema penelitian dan untuk memperkecil ruang
lingkup pembahasan, maka pengetahuan masyarakat Simeulue tentang gejala-gejala
alam yang diteliti dan diuraikan dalam wacana ini hanya yang berkaitan dengan
bencana alam, khususnya tentang tsunami.
Gelombang tsunami yang menerpa daratan Aceh telah
menelan korban ratusan ribu jiwa penduduknya plus kehancuran dan kerusakan
lingkungan dan bangunan fisik (sarana dan prasarana publik) dalam jumlah tak
terbilang. Selain menerjang wilayah Aceh daratan, gelombang tsunami juga
melanda wilayah kepulauan, seperti Pulau Simeulu yang terletak di sebelah Barat
Daya Provinsi Aceh. Hanya saja gelombang tsunami yang melanda Simeulue tidak
menelan korban sebanyak wilayah lainnya di Aceh, baik dari segi kuantitas
maupun dari segi porsentase.
Memang, lingkungan dan sarana fisik di Simeulue luluh
lantak akibat tsunami, tetapi korban jiwa manusia hanya sejumlah tujuh orang.
Kecilnya jumlah korban manusia dalam musibah ini tentu menimbulkan keheranan
dan rasa penasaran masyarakat internasional, mengingat musibah tersebut
tergolong salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah dunia.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh keterangan bahwa kecilnya jumlah korban manusia dalam musibah besar
tsunami di Simeulu tidak terlepas dari kemampuan masyarakat setempat dalam
membaca gejala-gejala alam. Pengetahuan ini diperoleh masyarakat berdasarkan
peristiwa yang sama yang dialami masyarakat Simeulu pada tahun 1907.
Sebuah Ensiklopedia dari Hindia Belanda di bawah
redaksi D.G. Stibbe yang terbit tahun 1909 mengemukakan bahwa di Simeulu sering
terjadi gempa bumi yang bersifat ringan. Pada tahun 1907 seluruh daerah pantai
barat dilanda ombak pasang yang cukup dahsyat yang menelan banyak korban. Pada
saat itu sejumlah besar kampung benar-benar hilang ditelan ombak besar
tersebut. Masyarakat Simeulu kemudian menyebut ombak besar itu dengan nama
‘smong’.
Salah seorang warga Desa Salur, Kecamatan Tepah Barat,
Simeulue, Benu Hatar (69 tahun) mengatakan bahwa berdasarkan kisah yang
diceritakan oleh ayahnya smong yang melanda Pulau Simeulu hampir seabad yang
silam terjadi pada hari Jumat, 14 Januari 1907 pukul 14.00 (setelah salat
Jumat). Pada masa itu, ayah Benu Hatar merupakan seorang pedagang (toke) di
Sinabang, sehingga dia tahu persis tanggal dan waktu smong datang.
Merujuk kepada cerita-cerita yang diperoleh dari orang
tuanya, Abdul Karim (39 tahun), penduduk Desa Amaiteng Mulia, mengisahkan:
Smong tahun 1907 yang pusatnya di Salur, Tepah Barat, itu telah memporak-porandakan kondisi masyarakat dan perumahan penduduk. Apalagi hari itu hari Jumat tanggal 14 Januari, dimana masyarakat sedang melaksanakan salat Jumat dan masyarakat yang lain pun karena hari Jumat banyak yang turun ke ibukota desa (pusat desa, pen.) untuk melaksanakan salat Jumat. Karena itu begitu salat Jumat selesai air surut dimana ikan menggelepar-gelepar di pinggir laut maka masyarakat ramai-ramai menuju pinggir laut memungut ikan. Karena itu tanpa mereka sadari kenaikan air yang begitu tinggi telah menggulung mereka dan membuat kematian yang cukup banyak pada saat itu.
Smong tahun 1907 yang pusatnya di Salur, Tepah Barat, itu telah memporak-porandakan kondisi masyarakat dan perumahan penduduk. Apalagi hari itu hari Jumat tanggal 14 Januari, dimana masyarakat sedang melaksanakan salat Jumat dan masyarakat yang lain pun karena hari Jumat banyak yang turun ke ibukota desa (pusat desa, pen.) untuk melaksanakan salat Jumat. Karena itu begitu salat Jumat selesai air surut dimana ikan menggelepar-gelepar di pinggir laut maka masyarakat ramai-ramai menuju pinggir laut memungut ikan. Karena itu tanpa mereka sadari kenaikan air yang begitu tinggi telah menggulung mereka dan membuat kematian yang cukup banyak pada saat itu.
Cerita lain disampaikan oleh Nurisah (107 tahun) dan
Iskandar (103 tahun), dua orang kakak beradik yang menjadi saksi hidup
peristiwa smong tahun 1907. Menurut pengakuan mereka, pada saat itu
masing-masing meraka berusia sembilan dan lima tahun. “Masa itu kami di gunung.
Rumah kami di situ. Waktu itu musim padi. Waktu surut air dikecek (dikatakan,
pen.) orang itu, orang itu mengambil ikan semua. Kering (laut, pen.) itu,”
kenang Iskandar. Sungguhpun Nurisah dan Iskandar melihat langsung akibat yang
ditimbulkan smong pada masa itu, namun keduanya mengaku tidak melihat langsung
surutnya air laut yang kemudian disusul dengan gelombang pasang yang menerjang
daratan. Mereka hanya mendengar cerita itu dari orangtuanya, karena saat itu
Nurisah dan Iskandar tinggal di kawasan pegunungan yang jauh dari bibir pantai.
Kisah tentang musibah smong yang melanda Simeulu tahun
1907 dan diceritakan secara turun-temurun oleh generasi yang hidup pada masa
itu sampai kepada generasi sekarang, tentu tidak saja mengisahkan tentang
kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga gejala-gejala
alam yang mendahaluluinya. Dengan demikian, generasi yang hidup pada masa
sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang
berpotensi mendatangkan smong/tsunami.
Menurut Benu Hatar, diantara gejala-gejala alam yang
menandakan akan datang smong adalah bilamana terjadi gempa yang disusul dengan
surutnya air laut. Tanda yang lain adalah apabila setelah gempa hewan berlarian
ke arah dataran yang lebih tinggi, semisal gunung atau perbukitan. Pernyataan
Benu Hatar dibenarkan oleh Iskandar dan Nyak Siben (65 tahun).
Pengetahuan tentang gejala-gejala alam yang
berkemungkinan menimbulkan smong tidak saja dimiliki generasi tua (sepuh),
namun generasi muda pun memiliki pengetahuan tentang itu. Salah seorang tokoh
muda Simeulu, Abdul Karim menyatakan: “Ada cerita-cerita lalu bahwa apabila ada
gempa yang berkekuatan melebihi dari biasanya maka perlu waspada akan ada
kenaikan air atau di Sinabang lebih dikenal dengan smong. Gempa yang perlu kita
waspadai yang kekuatannya melebihi dari yang biasa. Jika gempa itu dalam skala
kecil semisal 3 atau 4 (SR) kita tidak perlu terlalu risau.”
Karim menambahkan bahwa jika terjadi gempa yang
berkekuatan melebihi daripada biasanya, sebagaimana yang terjadi pada Minggu,
26 Desember 2004 lalu, maka dirinya dan kaum laki-laki di Simeulu segera menuju
bibir pantai untuk memantau kondisi air laut. “Selaku kepala keluarga atau
lelaki di rumah itu harus tetap waspada dan sekali waktu kita harus memantau
kondisi air itu, apakah terjadi penurunan. Jika surut air itu dengan kecepatan
tinggi maka dikhawatirkan akan terjadi naik (ke daratan, pen.),” jelas Karim.
Selain smong, menurut Benu Hatar, bencana alam yang pernah
melanda Simeulu adalah banjir besar dan angin topan. Akan tetapi, Hatar dan
para informan yang lain mengaku tidak memiliki pengetahuan yang spesifik
terhadap gejala-gejala menjelang datangnya bencana alam tersebut, sebagaimana
pengetahuan mereka terhadap tanda-tanda smong.
Sungguhpun demikian, Nurisah mengaku pernah
diceritakan oleh ayahnya mengenai tanda-tanda akan datangnya angin topan atau
yang lebih dikenal oleh masyarakat Simeulu dengan nama ‘Kuncung Baliung’.
Nurisah sendiri pada masa kanak-kanak pernah melihat langsung kuncung baliung
yang menerpa Simeulu. Menurutnya, berdasarkan cerita dari ayahnya bahwa
tanda-tanda akan datangnya kuncung baliung diawali dengan “penampakan” seorang
perempuan yang menggeraikan rambutnya.
“Jadi cerita orang tua saya itu kalau turun kuncung
baliung yang besar, (ada) perempuan terus digeraikannya rambutnya, nampak
gambarnya di situ, udah itu baru ada kuncung baliung. Tapi orang tua saya yang
ceritakan itu, saya ndak pernah nampak itu. Jadi masak ngak percaya saya pada
orang tua ya ‘kan?!”, kisah Nurisah.
Ditambahkan Nurisah bahwa pada saat kuncung baliung
menerpa daerahnya, hampir semua penduduk ketakutan dan mengurung diri di dalam
rumah. Mereka tidak saja takut digulung oleh angin topan yang berputar dengan
keras, tetapi juga kepada perempuan yang menampakkan diri sebelum datangnya
kuncung baliung itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar